Berita

Berita Pendidikan Nasional

(0 pemilihan)

DI BALIK SILUET PAKELIRAN Pilihan

Panggung ukuran 8 x 12 m itu disibukan oleh lalu lintas manusia. Beberapa orang menata gamelan sesuai dengan jenisnya.

Di panggung yang lebih tinggi dua pemuda menancapkan wayang-wayang pada debog dengan posisi berlawanan kanan kiri. Setelahnya mereka memasang keprak pada kotak wayang, dan blencong, serta menyiapkan gedhog. Beberapa wayang yang hendak dimainkan diletakan berurutan.

Dua sinden dengan sanggul menggunung dan konde besar bersiap diri  menuju panggung sambil membawa bantalan duduk dan menjinjing tas kecil. Penonton memenuhi pelataran rumah ibu Ariyani, selain tamu penyumbang gawe, terdapat penggemar wayang, dan juga anak-anak yang baru mengenal wayang. Memang hampir dua tahun desa Randunan sepi hiburan dan tontonan karena adanya pandemik. 

Gahara salah satu anak yang begitu penasaran dengan pagelaran wayang. Anak 9 tahun ini memang selalu penasaran pada hal-hal baru. Sejak kecil dia hidup di kota kecamatan yang jauh dari sentuhan seni tradisonal. Namun, sejak 6 bulan lalu ia pindah ke desa Randunan yang kental dengan sentuhan tradisi Jawa. Jiwanya tergugah untuk menjelajah seni tradisi. Ia dengan ceria memaksa ibunya untuk menonton pertunjukan wayang tersebut.

“Ibu, habis buwuh jangan pulang ya. Rama boleh pulang tapi ibu nemani aku nonton,” pintanya. Ibu hanya tersenyum dan memberi jawaban, “Tidak ah, kalau kamu mau nonton, nonton sendiri sama Om Ponco. Nanti kalau mengantuk minta antar pulang.”

“Ga mau. Temani aku nonton, aku janji ga minta jajan. Besok aku bangun cepat dan makan mandi dengan baik,” rengeknya dengan wajah polos. Ibunya menjadi tidak tega dan mengiyakan dengan syarat jam 10 pulang.

Pukul 20.45 mulai talu, Ladrang Sarayuda dari sinden terdengar begitu merdu. Dalang berada di depan panggung pakeliran menghadap ke arah para pangrawit. Beliau tampak anggun dan wibawa. Gahara duduk di antara pengrawit. Matanya sibuk melihat semua gerakan nayaga memain gamelan.  Wajahnya sumringah.

Dalang menuju panggung pentasnya. Diam. Tangan kirinya memegang gedhog sedang tangan kanannya memegang gagang gunungan. Wajahnya menunduk menikmati Ladrang Manyar Sewu yang mendayu-dayu. Gahara mendekati ibunya. “Ibu, Ibu…suara musik di wayang mengapa kayak mengandung mistis ya?”

Ibu yang memahami pertanyaan anak tersenyum dan bertanya, “Jadi, mau pulang?”

Gahara berdiri sigap dan berkata, “Tidak..!” kemudian melompat ke panggung.

Ibu pasrah. Ia hanya mengamati polah tingkah anaknya. Dalam hati ada rasa bahagia mengetahui anaknya mulai menyukai wayang. Selama 6 bulan tiap pukul 05.00 pagi mbahkungnya selalu mendengarkan wayang dari radio dengan volume 40 mh. Tetapi anak-anak tidak pernah benar-benar mendengarkan karena Spongbob atau Jadu lebih menarik untuk ditonton sambil sarapan.

Suluk sang dalang begitu merdu. “Hanjrah ingkang puspita rum…. Ka… siliring samirana mrih…Ooooooonnngggggg…., Sekar gadhung…. Ko… ngas gandhannyo Oooooonnngggg…. Gunungan diangkat dan ditancapkan di sisi kanan kelir. Gahara turun dari panggung dan menuju ke belakang panggung. Ibu agak cemas tetapi dibiarkan saja anak tersebut.

Dalang memulai cerita dengan adegan kerajaan Astina Pura. Gahara kembali menemui ibunya.

“Ibu…ibu wayang yang seperti gunung tadi apa namanya? Kok ada binatang dan pohon-pohonnya. Ada gapura juga?”

“Oohh, itu Namanya gunungan. Bentuknya gunung itu lambangnya dunia atau lam semesta. Dunia kan berisi manusia, tumbuhan, dan binatang. Mereka semua punya rumah,” kata ibu.

“Mengapa wayang yang tinggi dan berhidung besar itu marah? Artikan ya Bu, translet…. Ya… ya…?!” pintanya. Anak-anak sekarang mendapat istilah berbahasa asing dari game online. Gahara juga suka game minecraft. “Kenapa bu…dia kok marah?” ulangnya.

 “Yang berhidung besar itu raja Astina namanya Baladewa, depannya Patih Sangkuni, dan sebelahnya Pendeta Durna. Yang baru datang itu anaknya Pandawa yang tidak bisa berbahasa Jawa secara halus yaitu Antasena. Raja Baladewa dan Patih Sengkuni marah karena Antasena tidak sopan berhadapan dengan orang tua tapi tidak boso, ngoko,” penjelasan ibu.

“Wah…jahat ya?” katanya menilai.

“Tidak jahat. Yang patih itu mengingatkan dengan keras saja biar dia sopan.” Ibu menambahkan.

“Ooooo… kalau tidak di depan raja tidak boso boleh?” tanya Gahara lagi.

“Kita harus menyesuaikan dengan siapa dan menggunakan bahasa apa. Yang penting wajib menghormati dan sopan,” jawab ibu menandaskan.

“Kenapa wayang yang di ujung yang besar itu, bermata merah, kulitnya juga merah, dan wajahnya menakutkan,” beralihlah pertanyaan.

“Wah.…kalau bicara terus nanti tidak tahu ceritanya lho. Sudah lihat saja dulu. Dengarkan nanti kamu akan mulai mengerti. Atau kita pulang saja,” sanggah ibu.

“Nanti belum jam 10,” katanya sambil menarik tangan ibunya. Dia mengajak ibu ke belakang layar. Ternyata di balik layar tidak ada penonton. Hanya terdapat 2 kursi berjajar. Mereka menuju ke kursi tersebut.

“Mengapa nonton dari sini? Gelapkan?” tanya ibu.

“Di sini lebih bagus. Bayangan wayang seperti hidup. Kayak blok-blok di minecraf. Aku lebih suka melihat wayang dari sini”  Gahara menjelaskan.

“Itulah mengapa disebut wayang, artinya bayangan. Gambaran hidup manusia di bumi. Jadi memang lebih indah jika ditonton dari balik panggung. Bayangan sangat tegas dan jelas,” kata ibu.

“Iya… bagus…aku pingin lihat saat perang. Pasti lebih bagus. Seru,” tambah Gahara.

“Katanya tadi pulang jam 10. Perangnya nanti jam 2 malam lho,” kata ibu menolak.

“Tidak apa-apa aku kuat,” rayunya.

“Tidak boleh, tadi kamu sudah janji pulang jam 10,” kata ibu walau dalam hati ibu juga terpesona dengan wayang.

“Ibu….. Please deh. Lihat baguskan dilihat dari sini? Itu yang wajahnya menakutkan kenapa kulitnya merah, giginya besar-besar, rambutnya panjang, gimbal. Kenapa bu?” tanyanya lagi.

“Nanti selesai kujawab, pulang ya,” pinta ibu tanpa menunggu jawaban langsung menjelaskannya. “Yang menakutkan itu namanya Butho, Raksasa. Matanya dan wajahnya merah karena dia mudah emosi, suka marah. Giginya besar-besar karena dia serakah,” kata ibu.

“Ibu kalau marah-marah kok mata dan kulitnya tidak merah?” tanya Gahara.

“Ibu marahnya karena sayang padamu, menasihati, agar kamu jadi anak baik. Kalau kamu melanggar aturan dan janji ya ibu marah beneran. Ibu bisa jadi seperti raksasa lho,” jawab ibu.

“Hah..?! Ga mau. Sekarang sudah jam 10 belum, Bu? Ayo kita pulang,..!” ajaknya tiba-tiba sambil menarik tangan ibu.

“Belum,” jawab ibu. Tetapi Gahara sudah melangkah lebih dulu. Ibu sedikit heran lalu tersenyum. Ternyata siluet pakeliran memang lebih indah. Jika semua symbol dalam cerita wayang ditanyakan semua oleh Gahara pasti sampai besok pagi mereka takkan pulang dan tidur. Banyak petuah di balik pewayangan.

Segera saja Gahara dan ibu melangkah melewati panggung menuju jalan. Ibu dan anak itu berjalan bergandengan ke rumah berjarak 700m. Gamelan bertalu-talu, suara sinden mendayu-dayu, dan suluk dalang berkumandang.

Mayong, 2 Oktober 2021

 

Penulis yang tinggal di Mayong ini bernama lengkap Subaidah tapi dikenal dengan nama Ida Mayong. Pernah menulis beberapa puisi yang termuat dalam antologi bersama penyair perempuan Indonesia berjudul Kartini Masihkah kau Di Situ (2015), Membaca Jepara (2018), dan Tak Ada Koma (2020).

Aktivitas sehari-hari sebagai pembelajar di salah satu SMP N di Mayong.

Baca 2224 kali Terakhir diubah pada Kamis, 06 Oktober 2022 06:38
Spensama

BE BETTER

Cari

Pengunjung

2325397
Hari ini
Minggu Lalu
Bulan lalu
Semua
3890
2280888
97953
2325397

Your IP: 162.120.184.37
2025-10-10 17:47