Move On
Samsul Maarif
Move On
Samsul Maarif
Usianya sudah kepala tiga. Pekerjaan sudah mapan, punya rumah, punya segala yang diimpikan wanita pada umumnya. Namun, Udin belum juga menikah. Entah wanita yang bagaimana yang dia cari?
Sebenarnya banyak wanita yang berharap bisa mendampinginya. Ada teman kantor, teman sekolah, tetangga, juga beberapa kerabat. Banyak juga yang berusaha membantu mencarikan jodoh dari berbagai tipe dan profesi. Namun, hatinya tidak tergerak juga.
Udin memang belum bisa melupakan masa lalu, belum bisa “move on” kata anak muda. Ya, ada kisah cinta yang membelenggu hatinya. Memenjarakannya dalam lorong tak berujung. Ada bayangan wanita yang selalu menghantui hari-harinya.
Ini kisah yang mulai hadir di semester akhir saat kuliah. Gadis itu bernama Nina. Gadis manis yang membawa keceriaan baginya. Gadis yang memberi harapan di masa depannya. Teman seangkatan yang berhasil mengisi relung hatinya.
Benih cinta mulai bersemi di hatinya saat mereka mengikuti KKN. Saat itu, Udin kena masalah. Dalam pertandingan volly antara mahasiswa KKN dengan kelompok pemuda, dia terlibat perselisihan dengan pemuda desa. Dia hampir dikeroyok pemuda desa. Untung teman-temannya bisa melerainya, termasuk Nina.
Ada satu rahasia yang membuat hati Udin tak bisa melupakan Nina. Nina-lah yang menyelamatkannya dari dunia gelap, dari dunia hitam. Saat terjadi keributan itu, Udin dalam pengaruh alkohol. Omongannya kacau dan tidak beretika sehingga para pemuda tersinggung. Mereka hampir saja mengeroyok Udin. Untung teman-temannya bisa meredam emosi para pemuda. Udin pun diungsikan ke desa tetangga. Ini sesuai kesepakatan antara para mahasiswa KKN dengan para pemuda.
Nina banyak mengambil peran dalam membantu menyelematkannya dari masalah. Nina aktif melobi teman-temannya agar kejadian itu bisa diredam, beritanya tidak sampai ke kampus. Nina juga yang menyadarkannya agar dia menjauhi alkohol, minuman keras yang menemaninya setiap malam Minggu selama kuliah.
Udin memang bukan mahasiswa yang baik. Anak ‘mbedul’ yang pura-pura alim di depan orang tua dan lingkungan kampus. Dia memang terkesan pendiam saat kuliah. Dia tidak pernah mau mengikuti kegiatan di kampus. Namun, dia punya geng anak liar di luar lingkungan kampus. Mereka kumpul setiap malam Minggu di salah satu sudut kota. Nongkrong, bermain kartu, dan mabuk-mabukan menjadi rutinitas mereka. Tampaknya saat KKN, Udin tidak bisa melupakan kebiasaan itu. Dia tidak tahan untuk tidak minum minuman beralkohol.
“Din, aku mau membantumu agar kamu tidak terkena sanksi, tetapi dengan satu syarat,” kata Nina
“Apa syaratnya?”
“Kamu meninggalkan gengmu dan melupakan alkohol,” jawab Nina.
Udin tidak menjawab. Namun, Nina tetap menolongnya. Nina melobi semua teman KKN agar merahasiakan peristiwa keributan itu dan membantu Udin meninggalkan alkohol.Selesai KKN hubungan Udin dan Nina semakin akrab.
“Din, jangan lupa. Nanti malam Minggu lho. Kutunggu di kostku. jam tujuh ya?” kata Nina.
Udin hanya diam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Kembali ke gengnya atau menemui Nina.
Malam harinya, sampai pukul tujuh malam Udin belum juga mengambil keputusan. Dia hanya diam di teras kost dan tidak kemana-mana. Saat itulah Nina datang menjemputnya. Nina memaksanya untuk datang ke kostnya.
“Kamu harus ke kostku. Jika tidak pasti kamu akan bergabung dengan geng liarmu itu.”
Sejak saat itu, Udin selalu datang ke kost Nina setiap malam Minggu. Namun, hubungan mereka tidak seperti orang pacaran. Tidak ada mesra-mesraan, tidak ada kata romantis. Nina hanya memintanya agar menemaninya makan bakso, rujakan, atau sekadar nonton TV di kost. Tak ada kata cinta. Tak ada yang istimewa.
Waktu terus berjalan, sampai saat menjelang wisuda. Hubungan mereka sangat dekat. Benih-benih cinta juga mulai tumbuh dalam hati Udin. Ada getaran aneh setiap bertemu dengan Nina. Ada kerinduan yang sangat ketika tidak melihat Nina di kampus.
Berbagai pertanyaan menggelayut dalam pikiran Udin. Benarkah dia jatuh cinta? Bagaimna dengan Nina? Apakah Nina mencintainya? Atau sekadar kasihan padanya?
Suatu sore, seminggu sebelum wisuda. Nina menemui Udin.
“Bisa membantuku Din?”
“Apa?”
“Tolong bagikan undangan ini kepada teman-teman. Sudah ada namanya kok.”
Nina menyerahkan sepuluh lembar undangan tanpa ekspresi. Udin membaca sekilas undangan itu.
“Nina dan Joko?”
Deg, hatinya bergetar. Jantungnya terasa tak berdenyut. Seperti terkena sambaran petir di siang bolong.
“Din? Ada apa?”
“Oh ya, ya, ya,” Udin tergagap.
“Mohon maaf ya Din jika merepotkanmu,” kata Nina seperti bisa membaca suasana hati Udin.
“Endak kok. Endak apa-apa…,” kata udin terbata-bata.
Udin tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Nina tahu itu. Nina sempat tercenung sesaat. Beberapa menit hening, suasana kaku.
“Oke Din, terima kasih. Mohon maaf merepotkanmu.”
Nina berlalu meninggalkan Udin. Namun, Udin tahu ada linangan air bening di sudut mata yang indah itu.
****
“Din ayo ke alun-alun, menikmati ikan bakar,” sapa Agus, membuyarkan lamunan Udin.
Tampak Agus sudah siap di halaman hotel. Udin yang masih di kamar lantai dua segera berkemas. Hotel itu berbentuk “U” sehingga dia bisa melihat Agus yang ada di halaman hotel.
“Oke,” sahut Udin.
“Saatnya ‘move on’ Din. Jangan melamun saja. Ayo kita cari Nina yang lain di Karimun,” teriak Agus menggoda Udin.
Agus adalah sahabat baiknya. Dia tahu persis apa yang dialami Udin. Udin segera berkemas. Mengganti sarung dengan celana jeans. Mengganti baju shalat dengan kaos.
“Jalan kaki saja ya, dekat kok,” kata Agus.
Mereka menyusuri jalan kampung wisata itu. Jalan masih basah. Rintik hujan baru saja berhenti. Udara terasa dingin. Susana masih agak sepi.
 
		
		BE BETTER
© Copyright 2020 spensama